Terbukti dengan masih adanya suatu
keinginan dan kepentingan implisit dalam realisasinya, sebagai contoh adalah emigrasi
(transmigrasi) yang di buat sebagai pemerataan penduduk Jawa dan Madura untuk
di pindahkan ke daerah Sumatra Utara dan Selatan ternyata masih ada keinginan
untuk mencari keuntungan besar dari kebijakan tersebut seperti di bukanya
perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk
mengelolanya dan pengurangan jumlah kemiskinan di Jawa dan Madura, ini adalah
sebagai contoh dari realisasi politk etis tersebut.
Namun meskipun ada hal sifatnya
keuntungan nemun tetap saja poltik etis tersebut adalah fajar budi atau dalam
bahasa Jerman adalah Aufklarung (penceraahan) bagi bangsa Indonesia dimana
fajar budi itu muncul terlihat sinar-sinarnya dengan di buatnya sekolah-sekolah
untuk penduduk pribumi, meskipun sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan
saja namun untuk penduduk kelas bawah pun terdapat pendidik meskipun sistem dan
fasilitasnya kelas II. Namun bukan masalah yang begitu pelik dalam hal ini
karena dampak yang di timbulkan do kemudian hari adalah politik boomerang bagi
pemerintahan Belanda, karena membuka pendidikan adalah mempersenjatai para
penduduk pribumi yang lebih berbahaya dan lebih mematika dari pistol ataupun meriam.
Munculnya golongan terdidik dan terpelajar di kemudian hari menjadi ancaman
bagi pemerintahan Belanda, lahirnya Budi Utomo, Sarikat Islam hingga
penbentukan Volkskraad adalah respon dari stimulus yang diberikan oleh
poltik etis ini dengan memajukan pendidikan (Edukasi). Selain juga dua ranah
lain yang di perbaharui yaitu pengairan dan infrastruktur (Irigasi) dan
transmigrasi (Emigrasi).
Hal yang begitu menarik ketika membahas
masalah politik etis ini mengingat dampak yang timbulkanya dikemudian hari bagi
bangsa Indonesia, terutama dalam bidang kesejahteraan dan pendidikan dimana
pembahasan mengenai perkembangan masalah pendidikan akan dibahas dalam bab
tersendiri dalam makalah ini. Namun titik tolaknya tetap di mulai dari era
politik konservatif (1800-1848), kemudian berlanjut ke pada era culturstelsel
(1830-1870), kemudian ke era politik liberal (1850-1870) dan masuk pada era
transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870-1900) dan terakhir
adalah masa dimana politik etis itu berlangsung kurang lebih 1900.
LATAR BELAKANG
SEJARAH
Sebelumnya telah di jelaskan bahwa
sebelum masuk pada pembahasan mengenai politik etis terlebih dahulu perlu di
bahas era sebelum politik etis tersebut di realisasikan, dimana akan ada
keterkaitan yang sifatnya lebih historis kronologis. Maka kalau di buat suatu
batasan waktu untuk masuk dalam politk etis akan terlihat lebih jelas:
Era politik konservatif (1800-1848) : era dimana
sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana eksploitasi
negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi SDA alam
merupkan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk tidak perduli
apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting adalah
keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.
Era culturstelsel (1830-1870) : era dimana
penjajahan dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya terjadi
perubahan dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun di ganti
dengan pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di pasaran
internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk yang laku di
pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu. Keuntungan yang
berlipat-lipat adalah hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan tahun 1831 dan
1877 pemerintahan Belanda menerima keuntungan sebesar 825 gulden. Van Den Bosch
adalah orang yang berada di balik politik tanam paksa ini yang melakukan
eksploitasi cara baru untuk keuntungan negeri Belanda.
Era politik liberal (1850-1870) : era dimana
paham mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi Belanda
berawal dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin memantapkan paham
tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan meruntuhkan politik
merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar bebas, pendirian
pabrik-pabrik, jalan-jala raya dan kereta api, bank-bank dan kebun-kebun di
Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.
Era transisi dari politik liberal masuk
ke politik etis (1870-1900) : era dimana Belanda sebagai Negara yang
awalnya penganut paham perekonomian merkantilisme beralih dan mengkristal
menjadi politik liberal dan kapitalisme modern dengan penggunaan
teknologi-teknologi yang gaungi oleh revolusi industri di Inggris dan
membolehkan padagang dan saham swasta masuk ke Indonesia dan di berlakukanya
politik pintu terbuka, hal ini terlihat semakin kuat dengan di bukanya Terusan
Suez (1870) sebagai awal imperialisme modern masuk ke kawasan Asia dengan
perekonomian kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknoilogi mesin kapa uap
yang sebagai hasil dari revolusi Industri di Inggris.
Era politik etis itu berlangsung kurang
lebih 1900 : dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai seudah
berkembang dimana tiga bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan (Irigasi,
Edukasi dan Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia.
Pada awal sebelum dilakukannya politik
etis keadaan sosial dan ekonomi di Indonesia begitu buruk dan jauh dari kata
sejahtera terutama untuk penduduk pribumi yang buka dari kalangan bangsawan.
Pergantian penguasaan dan kebijakan bukan menjadikan bangsa Indonesia semakin
membaik justru sebaliknya setelah keluatnya VOC dari Indonesia 1799 dengan
politik ekspliotasinya hal itu berganti ke tangan Inggris di bawah Raffles yang
semakin tidak memperhatikan kesejahteraan bangsa Indonesia, ke beralih ke
Deandles dengan poltik kerja paksanya semakin membuat penduduk menderita,
jumlah penduduk yang melek huruf hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk yang
ada. Pendidikan bukan menjadi semakin baik justru sebaliknya. Karena
kesejahretaan dapat di laksakan apabila jumlah orang yang melek hurif semakin
banyak. Dari bidang ekonomi tanah-tanah yang luas masih dikuasi oleh para tuan
tanah yang dimana rakyat biasa hanya sebagai penyewa dan pekerja saja. Karena
politik yang digunakan pada saat itu adalah politik konservatif dimana
merkantilisme dan eksploitasi merupakan hal yang begitu di pentingkan oleh
pemerintah kolonial, timbah pembayaran pajak dan sewa yang begitu besar yang
semakin memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia. Namun setelah di
berlakukanya politik liberal 1870 pola kesejahteraan berubah terutama untuk
pemerintah Belanda di pasar bebas dan politik pintu terbuka dilaksanakan yang
berakibat pada surplus produksi perkebunan seperti gula 2 kali lipat, seperti
tahun 1870 produksi mencapai 152.595 ton dan pada tahun 1885 di Jawa saja
produksi gula mencapai 380.346 ton, selain gula produksi tembakau dan teh pun
mancapai surplus, namun hal ini hanya untuk keuntungan pemerintah kolonial.
Suatu istilah dan konsep yang dipakai
untuk mensejahterakan Bangsa jajahan adalah politik etis, istilah ini awalnya
hanya sebuah kritikan-kritikan dari para kalangan liberal dan Sosial Demokrat
terhadap politik kolonial yang di rasa tidak adil dan menghilangkan unsur-unsur
humanistik, golongan Sosial Demokrat yang saat di wakili oleh van Kol, van
Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang yang ingin memberadabkan bangsa
Indonesia. Yang menjadi stimulus dari politik etis adalah kritikan yang di buat
oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang intinya mengkritik
pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik kehormatan (hutang
kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh bangsa Indonesia
terhadap negera Belanda yang keuntungan menjadi 5 kali lipat dari hutang yang
mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia. Yang kemudian di respon oleh Ratu
Wilhemina dalam pengangkatanya sebagai Ratu baru Belanda pada tahun 1898 dan
mengeluarkan pernyataan bhawa Bangsa Belanda mempunyai hutang moril dan perlu
diberikan kesejahtraan bagi indonesia. selain dua faktor ini juga terdapat
faktor-faktor lain yang menyebabkan politik etis semakin genjar dilakukan yaitu
perubahan politik di Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan liberal yang
menginginkan dilakukanya sistem ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan
agar pendidikan mulai di tingkatkan di Indonesia. Adanya doktrin dari dua
golongan yang berbeda semakin membuat kebijakan politik etis ini agar segera
dilaksnakan yiatu :
Golongan Misionaris : 3 partai
kristen yang mulai mengadakan pembagunan dalam bidang pendidikan yaitu patrai
Katolik, Partai Anti-Revolusioner dan Partai Kristen yang programnya adalah
kewajiban bagi Belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh
agama.
Golongan Konservatif : menjadi
kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberdabkan
orang-orang yang terbelakang.
Itulah dua doktrin yang berkembang pada
saat itu karena bagi mereka tujuan terakhir politik kolonial seharusnya ialah
meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi
ekonomi bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggujawaban moral. Politik etis
itu sendiri memiliki arti politik balas jasa, politik balas budi, politik
kehormatan ataupun hutang kekayaan mungkin intinya sama secara harfiah, setelah
tadi dijelaskan bahwa politik etis ini di kumandangkan oleh golongan Sosial
Demokrat yang didalangi oleh van Deventer yang menginginkan adanya balas budi
untuk bangsa Indonesia. Politik etis bertendensi pada desentralisasi politik,
kesejahteraan rakyat dan efisiensi. Karena pada saat diberlakukanya politik
etis tahun 1900 keadaan politik, sosial dan ekonomi kacau balau, bidang ekonomi
di guncang oleh berjangkitnya hama pada tanaman terutama tebu, penyakit yang
berkembang kolera dan pes maka tak mengherankan Bangsa Eropa enggan datang ke
Jawa karena berkembangnya penyakit menular itu, sanitasi yang begitu buruk.
Dalam bidang sosial adalah jumlah masyarakat yang melek huruf hanya 1 % dari 99
% penduduk yang ada di Indonesia dan adalah masalah, karena kekurangan tenaga
kerja yang perofesional dalam berbagai bidang dan birokrasi karena para pegawai
yang didatangkan dari Belanda enggan datang karena isu penyakit menular yang
ada di jawa, selain itu juga masalah kepadatan penduduk yang yang menjadi
masalah di Jawa dan Madura, dan ini perlu dilakukan penyelesaianya secara
segera. Bidang politik masalah yang berkembang saat itu adalah sentralisasi
politik yang kuat sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan dan keungan antara
pemerintahan kolonial dan Bangsa Indonesia yang berdampak pada
ketidaksejahteraan pribumi.
Maka tak mengherankan jargon dan
program yang dikumandangkan dalam politik etis adalah dalam tiga bidang yaitu Irigate
(pengairan dan infrastruktur) , Educate (pendidikan) ,Emigrate (Transmigrasi)
yang kesemuanya adalah program utama mereka, namun dalam makalah ini yang akan
lebih banyak di bahas adalah menegai pendidikan karena hal tersebut merupakan
suatu msalah yang menarik karena akan menjadi politik boomerang dan era
pencerahan bagi bangsa Indonesia. Dan secara real memang bidang pendidikanlah
yang begitu besar perhatianya terbukti dengan munculnya tokoh, Snock Hurgronje,
Abendanon, van Heutz.
1. Irigate
(pengairan dan infrastruktur) :
Merupakan program pembangunan dan
penyempurnaan sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyat, terutama dalam
bidang pertanian dan perkebunan hal ini dilakukan dengan membuat waduk-waduk
besar penampung air hujan untuk petanian, dan melakukan perbaikan sanitasi
untuk mengurangi penyakit kolera dan pes. Selain juga perbaikan sarana
infrastruktur terutama adalah jalan raya dan kereta apai sebagai media untuk
pengangkutan komoditi hasil pertanian dan perkebunan.
2. Educate
(pendidikan) :
Merupakan program peningkatan mutu SDM
dan pengurangan jumlah buta huruf yang implikasi baiknya untuk pemerintah
Belanda juga yiatu mendapatkan tenaga keraja terdidik untuk birikrasinya namun
dengan gaji yang murah, karena apabila mendatangkan pekerja dari Eropa tentunya
akan sangat mahal biayanya dengan gaji yang mahal dan pemberian sarana dan
prasarana, yang dikemdian akan di buat sekolah dengan dua tingkatan yaitu
sekolah kelas I untuk golongan bangsawan dan tuan tanah dan sekolah kelas II
untuk pribumi kelas menegah dan biasa dengan mata pelajaran membaca, menulis,
ilmu bumi, berhitung, sejarah dan menggambar.
3. Emigrate
(Transmigrasi) :
Merupakan program pemerataan penduduk
Jawa dan Madura yang telah padat dengan jumlah sekitar 14 juta jiwa tahun 1900,
selain padat jumlah perkebunan pun sudah begitu luas maka kawasan untuk
pemukiman semakin sempit, maka hal itu di buat dengan dibuatnya pemukiman di
Sumatra Utara dan Selatan dimana di buka perkebunan-perkebunan baru yang
membutuhkan banyak sekali pengelola dan pegawainya. Untuk pemukiman Lampung
adalah salah satu daerah yang ditetapkan sebagai pusat transmigrasi dari Jawa
dan Madura. Itulah program utama yang dilakukan dalam politik etis terlepas
dari berhasil atau tidak dan ada kepentingan lain atau tidak, namun dari ketiga
program itu pendidikan merupakan program prioritas karena kedua program lainya
akan berhasil dan di tunjang oleh pendidikan. Selanjutnya akan di jelaskan
mengenai damapk yang di timbulkan oleh politik etiis dengan 3 program utamanya.
Dampak yang di timbulkan oleh politik
etis tentunyaa ada yang negatif dan positif namun yang perlu kita ketahui
adalah bahwa hampir semua program dan tujuan awal dari politik etis banyak yang
tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun satu program yang berdampak positif
dengan sifat jangka panjang bagi bangsa Indonesia adalah bidang pendidikan yang
akan mendatangkan golongan terpelajar dan terdidik yang dikemudian hari akan
membuat pemerintahan Belanda menjadi terancam dengan munculnya Budi Utomu,
Sarikat Islam dan berdirinya Volksraad. Adapun dampak-dampak yang
terlihat nyata adalah dalam tiga bidang :
Politik : Desentralisasi
kekuasaan atau otonomi bagi bangsa Indonesia, namun tetap saja terdapat masalah
yaitu golongan penguasa tetap kuat dalam arti intervensi, karena
perusahaan-perusahaan Belanda kalah saing dengan Jepang dan Amerika menjadikan
sentralisasi berusaha diterapkan kembali.
Sosial : lahirya
golongan terpelajar, peningkatan jumlah melek huruf , perkembangan bidang
pendidikan adalah dampak positifnya namun dampak negatifnya adalah kesenjangan
antara golongan bangsawan dan bawah semakin terlihat jelas karena bangsawan
kelas atas dapat berseolah dengan baik dan langsung di pekerjakan di
perusahaan-perusahaan Belanda.
Ekonomi : lahirnya
sistem Kapitalisme modern, politkk liberal dan pasar bebas yang menjadikan
persaingan dan modal menjadi indikator utama dalam perdagangan. Sehingga yang
lemah akan kalah dan tersingkirkan. Selain itu juga muculnya dan berkembangnya
perusahaan-perusahaan swasta dan asing di Indonesia seperti Shell.
PERAN PEDAGANG
ISLAM DI INDONESIA
Seperti halnya penyebaran agama
Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses penyebaran
agama Islam, baik pedagang dari
luar Indonesia maupun para pedagang indonesia. Para pedagang itu datang dan berdagang di
pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para
pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan
Samudra Pasai juga didatangi para pedagang. Mereka tinggal di tempat-tempat
tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat
menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta
antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan
agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui
perkawinan.
Di antara para pedagang tersebut,
terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka
mengenalkan agama dan budaya Islam
kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada
penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam
makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir.
Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam
kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai
berkembang di masyarakat Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang
menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang
Islam. Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul
sebuah komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah
pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di
Nusantara.
Sistem
ekonomi yang diterapkan Indonesia selama penjajahan belanda dibagi jadi 3
bagian, yaitu :
A. Sistem merkantilisme (VOC) 1600 – 1800
Adalah sistem ekonomi yang ditandai dengan adanya
campur tangan pemerintah secara ketat dan menyeluruh dalam kehidupan
perekonomian untuk memupuk kekayaan sebanyak-banyakanya sebagai ukuran
kekayaan, kesejahteraan dan kekuasaan yang dimiliki Negara tersebut. Belanda melimpahkan
wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari
persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan
imperialis lain.
VOC
diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
·
Hak mencetak uang
·
Hak mengangkat dan
memberhentikan pegawai
·
Hak menyatakan perang
dan damai
·
Hak untuk membuat
angkatan bersenjata sendiri
·
Hak untuk membuat
perjanjian dengan raja-raja
Dalam
hal ini VOC melakukan penekanan terhadap peningkatan ekspor dan membatasi
impor.
B. Sistem Monopoli (Tanam Paksa) 1830 –
1870
Adalah sistem
ekonomi yang memusatkan kegiatan ekonomi pada satu kelompok dalam bentuk monopoli dibidang
tertentu yang dapat merugikan rakyat. Tujuannya adalah untuk memproduksi
berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia sejak tahun 1620, VOC
hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa,
yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang
dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. Dengan memonopoli
rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan
begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Ditambah dengan diterapkan
Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan.
Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan
rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll.
Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi
Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah
penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di
Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Dalam
sistem ini masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual
hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang
sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, ini tentu memeras
keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan.
Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman
komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya
ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi
pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap
barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga
merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari
meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
C. Sistem ekonomi Kapitalis Liberal, 1870 –
1945
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang
menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong
pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Sistem Ekonomi
ini lebih rentan terhadap krisis ekonomi tetapi produksi yang dibuat
berdasarkan atas kebutuhan masyarakat.
Pada
akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi,
tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada
umumnya tidak diperlakukan layak. Sistem-sistem
ekonomi ini meninggalkan kemelaratan, namun disisi lain memberi pengetahuan
tentang bercocok tanam, sistem uang dan budaya industri. Pada masa itu,
Indonesia adalah pengekspor terbesar sejumlah komoditas primer. Pada dekade
1930an bank-bank bermunculan, industri manufaktur berkembang pesat yang
dimotori oleh industri gula. Pasar modal
muncul dan modal asing masuk dalam jumlah yang besar. Namun perkembangan
ekonomi yang pesat itu tidak memberi peningkatan kesejahteraan bagi rakyat.
PENGERUH PEDAGANG CINA
DI INDONESIA
Ditinjau dari fungsi orang Tionghoa sepanjang
sejarah, setelah memasuki abad kedua puluh, maka nampaklah peran mereka yang
makin luas (ekstensif) ataupun makin mendalam (intensif ) di tengah-tengah
masyarakat Surabaya. Memang fungsi sebagai pedagang tidak selalu identik dengan
orang kaya, namun banyaklah dari mereka menjadi kaya dan menduduki posisi
menengah ke atas dalam strata masyarakat. Von Faber menyebutkan jenis-jenis
fungsi pedagang mereka sebagai kelompok-kelompok sebagai beriku:
1) Pedagang
perantara, baik pedagang besar ataupun pedagang kecil, di hampir seluruh jenis
perdagangan.
2) Pedagang
kelontong (tekstil) mulai dari pemilik toko-toko, dan jumlah yang terbesar
ialah sebagai penjaja keliling.
3) Pedagang
grosir (partai besar), terutama dalam bidang-bidang palawija, gula, batik, beras,
rokok, rotan dan mebel.
4) Pedagang
legal ataupun ilegal dalam jenis-jenis candu (opium), rumah gadai dan pengutang
keliling (= Tionghoa mindering). (Von Faber, 1931: 76-84).
Dapatlah dimengerti bahwa fungsi jenis pedagang dan
jenis perdagangan di muka, segera mendatangkan citra negatif di tengah suatu
masyarakat. Memang tentu saja ada citra positif dari perdagangan yaitu bahwa
mereka ialah kelompok yang mandiri dan teliti, tekun, bekerja intensif dan
memberi contoh di dalam suatu keberhasilan dalam tingkat keuangan, sosial dan
status masyarakat. Baiklah disimak data-data kelompok berikut:
1) Sebagai
pedagang perantara orang Tionghoa memperlancar dan mengintensifkan korelasi
perdagangan antara Belanda di atas dengan Bumi Putera di bawah. Namun jangan
dilupakan bahwa sebagai pedagang perantara orang Tionghoa mengambil dan
mendapat keuntungan dari transaksi perantara ini. Orang Tionghoa juga menjadi
kolaborator “orang di atas” Belanda untuk atas nama langsung atau tidak
langsung, menekan “si kecil” Bumi Putera. Hal ini sangat bercitra negatif di
tengah masyarakat. Memang harus diakui, bahwa antara para pedagang Bumi Putera
juga menjabat pedagang perantara, namun kalau Bumi Putera berfungsi ilegal maka
Bumi Putera tergolong oleh istilah "bangsa atau sesama bangsa" di
antara masyarakat luas, Bumi Putera terbenam karena kesamaan ciri fisik yang
ada. Sebaliknya dengan pedagang perantara Tionghoa karena ciri fisiknya yang
berbeda dengan ciri orang Bumi Putera pada umumnya, maka Orang Tionghoa
menampak beda identitas fisiknya di tengah masyarakat Bumi Putera.
2) Sebagai
pedagang kelontong tekstil, terkadang Orang Tionghoa menjajakan dagangan sampai
di desa-desa atau di kampung-kampung dengan memakai pemikul barang orang “Bumi
Putera" dan berjalan di depan kurang lebih 2 - 3 meter sambil membawa alat
yang berbunyi "kelenting kelontong", sehingga dari jauh pedagang ini
dikenal, dan para calon pembeli telah siap menunggunya. Segi positif dari
perdagangan Orang Tionghoa sebagai pedagang perantara yang terjun ke bawah dan
dengan demikian melayani rakyat banyak. Segi negatifnya ialah sering pedagang
kelontong “menipu” rakyat banyak, baik dari kualitas kain maupun harga kain.
Barulah apabila pembelinya sesama orang Tionghoa, mereka lebih berhati-hati
karena untuk kelompok ini tidak mudah ditipunya.
3) Sebagai
pedagang grosir di bidang yang tersebut di muka, maka segi positifnya mirip
sebagai perdagangan perantara kecil atau menengah. Sisi positifnya pedagang ini
dipercaya sebagai pedagang yang berhasil dan berstatus sedikit di atas pedagang
perantara menengah lainnya. Kelompok pedagang ini memiliki hubungan yang
harmonis dengan pejabat pemerintah Belanda atau grosir-grosir Belanda juga.
Sudah barang tentu mereka jarang berkomunikasi langsung dengan lapisan
masyarakat menengah atau bawah. Sisi negatifnya, oleh masyarakat menengah dan
bawah, mereka dianggap tangan kanan Belanda atau bahkan telah dianggap sama
dengan kelompok elite (atas) Belanda. Pedagang grosir ini juga memiliki hak-hak
yang luas di kalangan sipil atau pejabat teras atas dan dipercaya untuk menjadi
pemuka masyarakat.
4) Sebagai
pedagang legal – ilegal untuk jenis-jenis bahan "maksiat" seperti
opium, rumah gadai atau mindering, maka jelas-jelas mereka dikutuk masyarakat
banyak. Bahkan istilah Cino kejam dan Cino = Sucine Ora Ono ini berasal dari
prasangka jabatan-jabatan ini. Sedikitpun jabatan ini tidak bernilai positif,
namun mereka menjadi cepat kaya raya dengan jabatan ini. Meskipun "cepat
kaya raya", mereka dianggap penghisap rakyat, “benalu” murni yang sangat
dibenci oleh rakyat banyak. Demikian suatu tugas ketekunan, ketelitian dan
semangat kerja di bidang yang negatif, akan memiliki makna di hadapan
masyarakat yang negatif pula.