Senin, 13 Mei 2013

POLITIK ETIS DAN EKONOMI DI INDONESIA



Terbukti dengan masih adanya suatu keinginan dan kepentingan implisit dalam realisasinya, sebagai contoh adalah emigrasi (transmigrasi) yang di buat sebagai pemerataan penduduk Jawa dan Madura untuk di pindahkan ke daerah Sumatra Utara dan Selatan ternyata masih ada keinginan untuk mencari keuntungan besar dari kebijakan tersebut seperti di bukanya perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengelolanya dan pengurangan jumlah kemiskinan di Jawa dan Madura, ini adalah sebagai contoh dari realisasi politk etis tersebut.
Namun meskipun ada hal sifatnya keuntungan nemun tetap saja poltik etis tersebut adalah fajar budi atau dalam bahasa Jerman adalah Aufklarung (penceraahan) bagi bangsa Indonesia dimana fajar budi itu muncul terlihat sinar-sinarnya dengan di buatnya sekolah-sekolah untuk penduduk pribumi, meskipun sebagian besar adalah untuk kelas bangsawan saja namun untuk penduduk kelas bawah pun terdapat pendidik meskipun sistem dan fasilitasnya kelas II. Namun bukan masalah yang begitu pelik dalam hal ini karena dampak yang di timbulkan do kemudian hari adalah politik boomerang bagi pemerintahan Belanda, karena membuka pendidikan adalah mempersenjatai para penduduk pribumi yang lebih berbahaya dan lebih mematika dari pistol ataupun meriam. Munculnya golongan terdidik dan terpelajar di kemudian hari menjadi ancaman bagi pemerintahan Belanda, lahirnya Budi Utomo, Sarikat Islam hingga penbentukan Volkskraad adalah respon dari stimulus yang diberikan oleh poltik etis ini dengan memajukan pendidikan (Edukasi). Selain juga dua ranah lain yang di perbaharui yaitu pengairan dan infrastruktur (Irigasi) dan transmigrasi (Emigrasi).
Hal yang begitu menarik ketika membahas masalah politik etis ini mengingat dampak yang timbulkanya dikemudian hari bagi bangsa Indonesia, terutama dalam bidang kesejahteraan dan pendidikan dimana pembahasan mengenai perkembangan masalah pendidikan akan dibahas dalam bab tersendiri dalam makalah ini. Namun titik tolaknya tetap di mulai dari era politik konservatif (1800-1848), kemudian berlanjut ke pada era culturstelsel (1830-1870), kemudian ke era politik liberal (1850-1870) dan masuk pada era transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870-1900) dan terakhir adalah masa dimana politik etis itu berlangsung kurang lebih 1900.

LATAR BELAKANG SEJARAH
Sebelumnya telah di jelaskan bahwa sebelum masuk pada pembahasan mengenai politik etis terlebih dahulu perlu di bahas era sebelum politik etis tersebut di realisasikan, dimana akan ada keterkaitan yang sifatnya lebih historis kronologis. Maka kalau di buat suatu batasan waktu untuk masuk dalam politk etis akan terlihat lebih jelas:
Era politik konservatif (1800-1848) : era dimana sistem kumpeni dan merkantilisme di gunakan secara total, dimana eksploitasi negeri jajahan adalah usaha utama pemerintahan Belanda. Eksploitasi SDA alam merupkan hal yang harus dilakukan untuk kemakmuran Negara induk tidak perduli apakah penduduk Negeri jajahan makan atau tidak yang terpenting adalah keuntungan bagi Negeri Belanda terutama untuk pembayaran hutang.
Era culturstelsel (1830-1870) : era dimana penjajahan dilakukan dengan mengikuti tradisi lokal yang ada, hanya terjadi perubahan dimana di lakukan penyerahan pajak tanah dengan uang namun di ganti dengan pemberian hasil perkebunan yang dapat di ekspor dan laku di pasaran internasional. Dilakukan dengan cara penanaman secara paksa produk yang laku di pasaran internasional seperti kopi, teh dan tebu. Keuntungan yang berlipat-lipat adalah hal yang tak bisa terelakan lagi, bahkan tahun 1831 dan 1877 pemerintahan Belanda menerima keuntungan sebesar 825 gulden. Van Den Bosch adalah orang yang berada di balik politik tanam paksa ini yang melakukan eksploitasi cara baru untuk keuntungan negeri Belanda.
Era politik liberal (1850-1870) : era dimana paham mengenai leberalisme mulai tumbuh di Eropa dan mempengaruhi Belanda berawal dari Revolusi di Amerika dan Revolusi Perancis semakin memantapkan paham tersebut. Dimana kapitalisme mulai berkembang dan meruntuhkan politik merkantilisme yang selama ini berkembang di Eropa, pasar bebas, pendirian pabrik-pabrik, jalan-jala raya dan kereta api, bank-bank dan kebun-kebun di Indonesia adalah implikasi nyata dari politik liberal ini.
Era transisi dari politik liberal masuk ke politik etis (1870-1900) : era dimana Belanda sebagai Negara yang awalnya penganut paham perekonomian merkantilisme beralih dan mengkristal menjadi politik liberal dan kapitalisme modern dengan penggunaan teknologi-teknologi yang gaungi oleh revolusi industri di Inggris dan membolehkan padagang dan saham swasta masuk ke Indonesia dan di berlakukanya politik pintu terbuka, hal ini terlihat semakin kuat dengan di bukanya Terusan Suez (1870) sebagai awal imperialisme modern masuk ke kawasan Asia dengan perekonomian kapitalismenya disertai oleh penggunaan teknoilogi mesin kapa uap yang sebagai hasil dari revolusi Industri di Inggris.
Era politik etis itu berlangsung kurang lebih 1900 : dimana gagasan mengenai hutang balas budi mulai seudah berkembang dimana tiga bidang utama yang di perioritaskan di realisasikan (Irigasi, Edukasi dan Emigrasi) untuk kesejahteraan Indonesia.
Pada awal sebelum dilakukannya politik etis keadaan sosial dan ekonomi di Indonesia begitu buruk dan jauh dari kata sejahtera terutama untuk penduduk pribumi yang buka dari kalangan bangsawan. Pergantian penguasaan dan kebijakan bukan menjadikan bangsa Indonesia semakin membaik justru sebaliknya setelah keluatnya VOC dari Indonesia 1799 dengan politik ekspliotasinya hal itu berganti ke tangan Inggris di bawah Raffles yang semakin tidak memperhatikan kesejahteraan bangsa Indonesia, ke beralih ke Deandles dengan poltik kerja paksanya semakin membuat penduduk menderita, jumlah penduduk yang melek huruf hanya 1% dari seluruh jumlah penduduk yang ada. Pendidikan bukan menjadi semakin baik justru sebaliknya. Karena kesejahretaan dapat di laksakan apabila jumlah orang yang melek hurif semakin banyak. Dari bidang ekonomi tanah-tanah yang luas masih dikuasi oleh para tuan tanah yang dimana rakyat biasa hanya sebagai penyewa dan pekerja saja. Karena politik yang digunakan pada saat itu adalah politik konservatif dimana merkantilisme dan eksploitasi merupakan hal yang begitu di pentingkan oleh pemerintah kolonial, timbah pembayaran pajak dan sewa yang begitu besar yang semakin memberatkan kehidupan masyarakat Indonesia. Namun setelah di berlakukanya politik liberal 1870 pola kesejahteraan berubah terutama untuk pemerintah Belanda di pasar bebas dan politik pintu terbuka dilaksanakan yang berakibat pada surplus produksi perkebunan seperti gula 2 kali lipat, seperti tahun 1870 produksi mencapai 152.595 ton dan pada tahun 1885 di Jawa saja produksi gula mencapai 380.346 ton, selain gula produksi tembakau dan teh pun mancapai surplus, namun hal ini hanya untuk keuntungan pemerintah kolonial.
Suatu istilah dan konsep yang dipakai untuk mensejahterakan Bangsa jajahan adalah politik etis, istilah ini awalnya hanya sebuah kritikan-kritikan dari para kalangan liberal dan Sosial Demokrat terhadap politik kolonial yang di rasa tidak adil dan menghilangkan unsur-unsur humanistik, golongan Sosial Demokrat yang saat di wakili oleh van Kol, van Deventer dan Brooshooft adalah orang-orang yang ingin memberadabkan bangsa Indonesia. Yang menjadi stimulus dari politik etis adalah kritikan yang di buat oleh van Deventer dalam majalah De Gies yang intinya mengkritik pemerintahan kolonial dan menyarankan agar dilakukan politik kehormatan (hutang kekayaan) atas segala kekayaan yang telah diberikan oleh bangsa Indonesia terhadap negera Belanda yang keuntungan menjadi 5 kali lipat dari hutang yang mereka anggap di buat oleh bangsa Indonesia. Yang kemudian di respon oleh Ratu Wilhemina dalam pengangkatanya sebagai Ratu baru Belanda pada tahun 1898 dan mengeluarkan pernyataan bhawa Bangsa Belanda mempunyai hutang moril dan perlu diberikan kesejahtraan bagi indonesia. selain dua faktor ini juga terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan politik etis semakin genjar dilakukan yaitu perubahan politik di Belanda yaitu dengan berkuasanya kalangan liberal yang menginginkan dilakukanya sistem ekonomi bebas dan kapitalisme dan mengusahakan agar pendidikan mulai di tingkatkan di Indonesia. Adanya doktrin dari dua golongan yang berbeda semakin membuat kebijakan politik etis ini agar segera dilaksnakan yiatu :
Golongan Misionaris : 3 partai kristen yang mulai mengadakan pembagunan dalam bidang pendidikan yaitu patrai Katolik, Partai Anti-Revolusioner dan Partai Kristen yang programnya adalah kewajiban bagi Belanda untuk mengangkat derajat pribumi yang didasarkan oleh agama.
Golongan Konservatif : menjadi kewajiban kita sebagai bangsa yang lebih tinggi derajatnya untuk memberdabkan orang-orang yang terbelakang.
Itulah dua doktrin yang berkembang pada saat itu karena bagi mereka tujuan terakhir politik kolonial seharusnya ialah meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan moral penduduk pribumi, evolusi ekonomi bukan eksploitasi kolonial melainkan pertanggujawaban moral. Politik etis itu sendiri memiliki arti politik balas jasa, politik balas budi, politik kehormatan ataupun hutang kekayaan mungkin intinya sama secara harfiah, setelah tadi dijelaskan bahwa politik etis ini di kumandangkan oleh golongan Sosial Demokrat yang didalangi oleh van Deventer yang menginginkan adanya balas budi untuk bangsa Indonesia. Politik etis bertendensi pada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat dan efisiensi. Karena pada saat diberlakukanya politik etis tahun 1900 keadaan politik, sosial dan ekonomi kacau balau, bidang ekonomi di guncang oleh berjangkitnya hama pada tanaman terutama tebu, penyakit yang berkembang kolera dan pes maka tak mengherankan Bangsa Eropa enggan datang ke Jawa karena berkembangnya penyakit menular itu, sanitasi yang begitu buruk. Dalam bidang sosial adalah jumlah masyarakat yang melek huruf hanya 1 % dari 99 % penduduk yang ada di Indonesia dan adalah masalah, karena kekurangan tenaga kerja yang perofesional dalam berbagai bidang dan birokrasi karena para pegawai yang didatangkan dari Belanda enggan datang karena isu penyakit menular yang ada di jawa, selain itu juga masalah kepadatan penduduk yang yang menjadi masalah di Jawa dan Madura, dan ini perlu dilakukan penyelesaianya secara segera. Bidang politik masalah yang berkembang saat itu adalah sentralisasi politik yang kuat sehingga tidak ada pemisahan kekuasaan dan keungan antara pemerintahan kolonial dan Bangsa Indonesia yang berdampak pada ketidaksejahteraan pribumi.
Maka tak mengherankan jargon dan program yang dikumandangkan dalam politik etis adalah dalam tiga bidang yaitu Irigate (pengairan dan infrastruktur) , Educate (pendidikan) ,Emigrate (Transmigrasi) yang kesemuanya adalah program utama mereka, namun dalam makalah ini yang akan lebih banyak di bahas adalah menegai pendidikan karena hal tersebut merupakan suatu msalah yang menarik karena akan menjadi politik boomerang dan era pencerahan bagi bangsa Indonesia. Dan secara real memang bidang pendidikanlah yang begitu besar perhatianya terbukti dengan munculnya tokoh, Snock Hurgronje, Abendanon, van Heutz.
1. Irigate (pengairan dan infrastruktur) :
Merupakan program pembangunan dan penyempurnaan sarana dan prasarana untuk kesejahteraan rakyat, terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan hal ini dilakukan dengan membuat waduk-waduk besar penampung air hujan untuk petanian, dan melakukan perbaikan sanitasi untuk mengurangi penyakit kolera dan pes. Selain juga perbaikan sarana infrastruktur terutama adalah jalan raya dan kereta apai sebagai media untuk pengangkutan komoditi hasil pertanian dan perkebunan.
2. Educate (pendidikan) :
Merupakan program peningkatan mutu SDM dan pengurangan jumlah buta huruf yang implikasi baiknya untuk pemerintah Belanda juga yiatu mendapatkan tenaga keraja terdidik untuk birikrasinya namun dengan gaji yang murah, karena apabila mendatangkan pekerja dari Eropa tentunya akan sangat mahal biayanya dengan gaji yang mahal dan pemberian sarana dan prasarana, yang dikemdian akan di buat sekolah dengan dua tingkatan yaitu sekolah kelas I untuk golongan bangsawan dan tuan tanah dan sekolah kelas II untuk pribumi kelas menegah dan biasa dengan mata pelajaran membaca, menulis, ilmu bumi, berhitung, sejarah dan menggambar.
3. Emigrate (Transmigrasi) :
Merupakan program pemerataan penduduk Jawa dan Madura yang telah padat dengan jumlah sekitar 14 juta jiwa tahun 1900, selain padat jumlah perkebunan pun sudah begitu luas maka kawasan untuk pemukiman semakin sempit, maka hal itu di buat dengan dibuatnya pemukiman di Sumatra Utara dan Selatan dimana di buka perkebunan-perkebunan baru yang membutuhkan banyak sekali pengelola dan pegawainya. Untuk pemukiman Lampung adalah salah satu daerah yang ditetapkan sebagai pusat transmigrasi dari Jawa dan Madura. Itulah program utama yang dilakukan dalam politik etis terlepas dari berhasil atau tidak dan ada kepentingan lain atau tidak, namun dari ketiga program itu pendidikan merupakan program prioritas karena kedua program lainya akan berhasil dan di tunjang oleh pendidikan. Selanjutnya akan di jelaskan mengenai damapk yang di timbulkan oleh politik etiis dengan 3 program utamanya.
Dampak yang di timbulkan oleh politik etis tentunyaa ada yang negatif dan positif namun yang perlu kita ketahui adalah bahwa hampir semua program dan tujuan awal dari politik etis banyak yang tak terlaksana dan mendapat hambatan. Namun satu program yang berdampak positif dengan sifat jangka panjang bagi bangsa Indonesia adalah bidang pendidikan yang akan mendatangkan golongan terpelajar dan terdidik yang dikemudian hari akan membuat pemerintahan Belanda menjadi terancam dengan munculnya Budi Utomu, Sarikat Islam dan berdirinya Volksraad. Adapun dampak-dampak yang terlihat nyata adalah dalam tiga bidang :
Politik : Desentralisasi kekuasaan atau otonomi bagi bangsa Indonesia, namun tetap saja terdapat masalah yaitu golongan penguasa tetap kuat dalam arti intervensi, karena perusahaan-perusahaan Belanda kalah saing dengan Jepang dan Amerika menjadikan sentralisasi berusaha diterapkan kembali.
Sosial : lahirya golongan terpelajar, peningkatan jumlah melek huruf , perkembangan bidang pendidikan adalah dampak positifnya namun dampak negatifnya adalah kesenjangan antara golongan bangsawan dan bawah semakin terlihat jelas karena bangsawan kelas atas dapat berseolah dengan baik dan langsung di pekerjakan di perusahaan-perusahaan Belanda.
Ekonomi : lahirnya sistem Kapitalisme modern, politkk liberal dan pasar bebas yang menjadikan persaingan dan modal menjadi indikator utama dalam perdagangan. Sehingga yang lemah akan kalah dan tersingkirkan. Selain itu juga muculnya dan berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta dan asing di Indonesia seperti Shell.

PERAN PEDAGANG ISLAM DI INDONESIA
Seperti halnya penyebaran agama Hindu-Buddha, kaum pedagang memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam, baik pedagang dari luar Indonesia maupun para pedagang indonesia. Para pedagang itu datang dan berdagang di pusat-pusat perdagangan di daerah pesisir. Malaka merupakan pusat transit para pedagang. Di samping itu, bandar-bandar di sekitar Malaka seperti Perlak dan Samudra Pasai juga didatangi para pedagang. Mereka tinggal di tempat-tempat tersebut dalam waktu yang lama, untuk menunggu datangnya angin musim. Pada saat menunggu inilah, terjadi pembauran antarpedagang dari berbagai bangsa serta antara pedagang dan penduduk setempat. Terjadilah kegiatan saling memperkenalkan adat-istiadat, budaya bahkan agama. Bukan hanya melakukan perdagangan, bahkan juga terjadi asimilasi melalui perkawinan.
Di antara para pedagang tersebut, terdapat pedagang Arab, Persia, dan Gujarat yang umumnya beragama Islam. Mereka mengenalkan agama dan budaya Islam kepada para pedagang lain maupun kepada penduduk setempat. Maka, mulailah ada penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam. Lama-kelamaan penganut agama Islam makin banyak. Bahkan kemudian berkembang perkampungan para pedagang Islam di daerah pesisir. Penduduk setempat yang telah memeluk agama Islam kemudian menyebarkan Islam kepada sesama pedagang, juga kepada sanak familinya. Akhirnya, Islam mulai berkembang di masyarakat Indonesia. Di samping itu para pedagang dan pelayar tersebut juga ada yang menikah dengan penduduk setempat sehingga lahirlah keluarga dan anak-anak yang Islam. Hal ini berlangsung terus selama bertahun-tahun sehingga akhirnya muncul sebuah komunitas Islam, yang setelah kuat akhirnya membentuk sebuah pemerintahaan Islam. Dari situlah lahir kesultanan-kesultanan Islam di Nusantara.
Sistem Ekonomi Pada Zaman Penjajahan Belanda
Sistem ekonomi yang diterapkan Indonesia selama penjajahan belanda dibagi jadi 3 bagian, yaitu :
A.        Sistem merkantilisme (VOC) 1600 – 1800
Adalah sistem ekonomi yang ditandai dengan adanya campur tangan pemerintah secara ketat dan menyeluruh dalam kehidupan perekonomian untuk memupuk kekayaan sebanyak-banyakanya sebagai ukuran kekayaan, kesejahteraan dan kekuasaan yang dimiliki Negara tersebut. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain.
VOC diberi hak Octrooi, yang antara lain meliputi :
·        Hak mencetak uang
·        Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
·        Hak menyatakan perang dan damai
·        Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri
·        Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja
Dalam hal ini VOC melakukan penekanan terhadap peningkatan ekspor dan membatasi impor.
B.         Sistem Monopoli (Tanam Paksa) 1830 – 1870
Adalah sistem  ekonomi yang memusatkan kegiatan ekonomi pada satu  kelompok dalam bentuk monopoli dibidang tertentu yang dapat merugikan rakyat. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Ditambah dengan diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi penduduk Priangan. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
Dalam sistem ini masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, ini tentu memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris.
C.        Sistem ekonomi Kapitalis Liberal, 1870 – 1945
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Sistem Ekonomi ini lebih rentan terhadap krisis ekonomi tetapi produksi yang dibuat berdasarkan atas kebutuhan masyarakat.
Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak. Sistem-sistem ekonomi ini meninggalkan kemelaratan, namun disisi lain memberi pengetahuan tentang bercocok tanam, sistem uang dan budaya industri. Pada masa itu, Indonesia adalah pengekspor terbesar sejumlah komoditas primer. Pada dekade 1930an bank-bank bermunculan, industri manufaktur berkembang pesat yang dimotori oleh industri gula. Pasar     modal muncul dan modal asing masuk dalam jumlah yang besar. Namun perkembangan ekonomi yang pesat itu tidak memberi peningkatan kesejahteraan bagi rakyat.
PENGERUH PEDAGANG CINA DI INDONESIA
Ditinjau dari fungsi orang Tionghoa sepanjang sejarah, setelah memasuki abad kedua puluh, maka nampaklah peran mereka yang makin luas (ekstensif) ataupun makin mendalam (intensif ) di tengah-tengah masyarakat Surabaya. Memang fungsi sebagai pedagang tidak selalu identik dengan orang kaya, namun banyaklah dari mereka menjadi kaya dan menduduki posisi menengah ke atas dalam strata masyarakat. Von Faber menyebutkan jenis-jenis fungsi pedagang mereka sebagai kelompok-kelompok sebagai beriku:
1)      Pedagang perantara, baik pedagang besar ataupun pedagang kecil, di hampir seluruh jenis perdagangan.
2)      Pedagang kelontong (tekstil) mulai dari pemilik toko-toko, dan jumlah yang terbesar ialah sebagai penjaja keliling.
3)      Pedagang grosir (partai besar), terutama dalam bidang-bidang palawija, gula, batik, beras, rokok, rotan dan mebel.
4)      Pedagang legal ataupun ilegal dalam jenis-jenis candu (opium), rumah gadai dan pengutang keliling (= Tionghoa mindering). (Von Faber, 1931: 76-84).
Dapatlah dimengerti bahwa fungsi jenis pedagang dan jenis perdagangan di muka, segera mendatangkan citra negatif di tengah suatu masyarakat. Memang tentu saja ada citra positif dari perdagangan yaitu bahwa mereka ialah kelompok yang mandiri dan teliti, tekun, bekerja intensif dan memberi contoh di dalam suatu keberhasilan dalam tingkat keuangan, sosial dan status masyarakat. Baiklah disimak data-data kelompok berikut:
1)      Sebagai pedagang perantara orang Tionghoa memperlancar dan mengintensifkan korelasi perdagangan antara Belanda di atas dengan Bumi Putera di bawah. Namun jangan dilupakan bahwa sebagai pedagang perantara orang Tionghoa mengambil dan mendapat keuntungan dari transaksi perantara ini. Orang Tionghoa juga menjadi kolaborator “orang di atas” Belanda untuk atas nama langsung atau tidak langsung, menekan “si kecil” Bumi Putera. Hal ini sangat bercitra negatif di tengah masyarakat. Memang harus diakui, bahwa antara para pedagang Bumi Putera juga menjabat pedagang perantara, namun kalau Bumi Putera berfungsi ilegal maka Bumi Putera tergolong oleh istilah "bangsa atau sesama bangsa" di antara masyarakat luas, Bumi Putera terbenam karena kesamaan ciri fisik yang ada. Sebaliknya dengan pedagang perantara Tionghoa karena ciri fisiknya yang berbeda dengan ciri orang Bumi Putera pada umumnya, maka Orang Tionghoa menampak beda identitas fisiknya di tengah masyarakat Bumi Putera.
2)      Sebagai pedagang kelontong tekstil, terkadang Orang Tionghoa menjajakan dagangan sampai di desa-desa atau di kampung-kampung dengan memakai pemikul barang orang “Bumi Putera" dan berjalan di depan kurang lebih 2 - 3 meter sambil membawa alat yang berbunyi "kelenting kelontong", sehingga dari jauh pedagang ini dikenal, dan para calon pembeli telah siap menunggunya. Segi positif dari perdagangan Orang Tionghoa sebagai pedagang perantara yang terjun ke bawah dan dengan demikian melayani rakyat banyak. Segi negatifnya ialah sering pedagang kelontong “menipu” rakyat banyak, baik dari kualitas kain maupun harga kain. Barulah apabila pembelinya sesama orang Tionghoa, mereka lebih berhati-hati karena untuk kelompok ini tidak mudah ditipunya.
3)      Sebagai pedagang grosir di bidang yang tersebut di muka, maka segi positifnya mirip sebagai perdagangan perantara kecil atau menengah. Sisi positifnya pedagang ini dipercaya sebagai pedagang yang berhasil dan berstatus sedikit di atas pedagang perantara menengah lainnya. Kelompok pedagang ini memiliki hubungan yang harmonis dengan pejabat pemerintah Belanda atau grosir-grosir Belanda juga. Sudah barang tentu mereka jarang berkomunikasi langsung dengan lapisan masyarakat menengah atau bawah. Sisi negatifnya, oleh masyarakat menengah dan bawah, mereka dianggap tangan kanan Belanda atau bahkan telah dianggap sama dengan kelompok elite (atas) Belanda. Pedagang grosir ini juga memiliki hak-hak yang luas di kalangan sipil atau pejabat teras atas dan dipercaya untuk menjadi pemuka masyarakat.
4)      Sebagai pedagang legal – ilegal untuk jenis-jenis bahan "maksiat" seperti opium, rumah gadai atau mindering, maka jelas-jelas mereka dikutuk masyarakat banyak. Bahkan istilah Cino kejam dan Cino = Sucine Ora Ono ini berasal dari prasangka jabatan-jabatan ini. Sedikitpun jabatan ini tidak bernilai positif, namun mereka menjadi cepat kaya raya dengan jabatan ini. Meskipun "cepat kaya raya", mereka dianggap penghisap rakyat, “benalu” murni yang sangat dibenci oleh rakyat banyak. Demikian suatu tugas ketekunan, ketelitian dan semangat kerja di bidang yang negatif, akan memiliki makna di hadapan masyarakat yang negatif pula.